PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI
Moral adalah tingkah laku yang telah diatur atau ditentukan
oleh etika. Moral sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu moral baik dan moral
jahat. Moral baik ialah segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika
sebagai baik, begitu juga sebaliknya dengan moral yang jahat.
1. Moral adalah nilai yang berlaku
dalam suatu lingkungan sosial dan mengatur tingkah laku seseorang.
2. Moral ialah suatu tendensi rohani
untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang
dan masyarakat.
3. Moral adalah suatu kebaikan yang
disesuaikan dengan ukuran - ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
A. Perkembangan moral
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan
perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki
dimensi intrapersonal, yang mengatur aktifitas seseorang ketika dia terlibat
dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial
dan penyelesaian konflik. (Santrock, 2007 ;Gibbs,2003 ; Power,2004 ; Walker
&Pitts,1998)[6] Perkembangan moral berkaitan dengan
aturan-atuaran dan ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain
Pada usia Taman Kanak-kanak, anak telah memiliki pola moral
yang harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya.
Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati,
yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari
oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif. Menurut John Dewey
tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati 3 fase, yaitu premoral,
conventional dan autonomous. Anak Taman Kanak-kanak secara teori berada pada
fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu, guru diharapkan memperhatikan kedua
karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut.
Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam perkembangan
moralnya melalui tahapan heteronomous dan autonomous. Seorang guru Taman
Kanak-kanak harus memperhatikan tahapan hetero-nomous karena pada tahapan ini
anak masih sangat labil, mudah terbawa arus, dan mudah terpengaruh. Mereka
sangat membutuhkan bimbingan, proses latihan, serta pembiasaan yang
terus-menerus.
Manusia
merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan
mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan
berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan
melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami
perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan
moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk
memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto, 2005:
67). Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka
manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi
perkembangan moralnya.
Perkembangan
Moral Jean Piaget
Jean Piaget lahir di Neuchâtel, Swiss, 9 Agustus1896 adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembanganSwiss, yang terkenal karena hasil penelitiannya
tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya. Menurut Ernst von Glasersfeld, Jean Piaget adalah
juga “perintis besar dalam teori konstruktivis tentang pengetahuan[7]. Ada dua macam studi
yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja. Piaget
melakukan observasi dan wawancara dengan anak-anak usia 4-12 tahun, yaitu :
1.
Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil
mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
2.
Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya
mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari
hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak
berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada
kedewasaan perkembangan mereka, antara lain:
Heteronomous Morality
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori
Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan
dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari
kendali manusia. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan
perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari
pelaku.
1.
Misalnya, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada
memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
2.
Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan
digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
3.
Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam
permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan
harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
4.
Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan
dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
5.
Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
Autonomous Morality
1.
Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh
anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi
sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam
menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku
dan juga akibat-akibatnya
2.
Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
3.
Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat
menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan,
perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut
kesepakatan.
4.
Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila
seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak
terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi
lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang
kemungkinan-kemungkinan dan kerjasama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget
terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima.
Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang
sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan
dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orangtua dan anak, orangtua
memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan
pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.
2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerkembanganMoral
Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk
berperilaku sesuai nilai-nilai luhur dalam masyarakat belum dikenalnya.
Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta lingkungan sosial budaya,
mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami
dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan
sekerja/kegiatan ditengah lingkungan.
a. Perubahan dalam lingkungan
Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa
pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat
terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian
adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya.
Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan
perkembangan moral secara berkondisi.
b. Struktur kepribadian
Psiko analisa (freud) menggambarkan perkembangan kepribadian
termasuk moral. dimulai dengan sistem ID, selalu aspek biologis yang irasional
dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan
sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem
nilai dan moralmasyarakat. Ketiga subsistem
kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu.
Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar
menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku
menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan
moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan
watak/perilaku bermoral seseorang.
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan
moral anak (Hurlock, 1990).
1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan.
2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan.
3. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
Sumber
:
B. Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Menurut
Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan yang berkarakter
pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi pribadi-pribadi yang bermoral
atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab keluarga, sekolah, dan seluruh
komponen masyarakat. Usaha tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus,
dan komprehensif. Pengembangan moral anak usia dini melalui pengembangan
pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah
a.
Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari dalam keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling efektif untuk melatih
berbagai kebiasaan yang baik pada anak.
Menurut
Thomas Lickona, sebagimana pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007:
8.38 – 8.41), ada 10 hal penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip
dalam mengembangkan karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.
1)
Moralitas penghormatan
Hormat
merupakan kuci utama untuk dapar hidup harmonis dengan masyarkat. Moralitas
penghormatan mencakup
a)
Penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak
terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri.
b)
Penghormatan kepada sesame manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan
ekonomi, dst.
c)
Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan.
2)
Perkembangan moralitas kehormatan berjalan secara bertahap
Anak-anak
tidak bisa langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan
waktu dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk
melakukan pendidikan tersebut.
3)
Mengajarkan prinsip menghormati
Anak-anak
akan belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain
menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya.
Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai
pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dst.
4)
Mengajarkan dengan contoh
Pembentukan
perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh. Oleh karena itu contoh
nyata dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan.
Selain itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat
pesan-pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara-acara televisi yang
sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara
yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya.
5)
Mengajarkan dengan kata-kata
Selain
mengajar dengan contoh, orang tua hendaknya menjelaskan dengan kata-kata apa
yang ia contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai
tindakan yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya.
6)
Mendorong anak unruk merefleksikan tindakannya
Ketika
anak telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya
sehingga adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang
merebut mainannya, apa reaksinya.
7)
Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab
Anak-anak
harus dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang altruistik, yaitu peduli pada
sesamana. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung
jawab.
8)
Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol
Keseimbangan
antara kebebasan dan kontrol diperlukan pengembangan moral anak. Anak
diberi pilihan untuk menentukn apa yang akan dilakukannya namun aturan-aturan
yang berlaku harus ditaati.
9)
Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral
Perhatian
dan cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan
karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka
mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain.
10)
Menciptakan keluarga bahagia
Pendidikan
moral kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak
menjadi pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika jika anak mendapatkan
pendidikan dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan
keluarga yang bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua
sehubungan dengan erkembangan moral anaknya.
b.
Pengembangan kebiasaan berperilaku yang baik di sekolah
Perkembangan
moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997)
dan Megawangi 2004) dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.41 – 8.42), bahwa
lingkungan sekolah berperan dalam pengembangan moral anak usia dini. Pendidikan
moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti
pendidikan pad ataman kanak-kanak. Menurut Schweinhart (Siti Aisyah dkk., 2007:
8.42), pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan
pengaruh positif pada pada perkembangan anak selanjutnya.
Di
lembaga pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan
moral anak sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah,
2007: 8.45), pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1)
Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang, adil, dan hormat.
2)
Memberikan perhatian khusus secara individual agar pendidik dapat mengenal
secara baik anak didiknya.
3)
Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan.
4)
Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik.
C. Strategi dan Teknik
Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Pengembangan
moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan
perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian
serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi
dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral
pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi
aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1. Strategi Latihan
dan Pembiasaan
Latihan
dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku
tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan
terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan
untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak
memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang
tuanya.
2. Strategi
Aktivitas Bermain
Bermain
merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan
dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian
Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral
anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain
sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan
mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama
temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak
bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3. Strategi
Pembelajaran
Usaha
pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan
pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan
perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan
(Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran
moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang
terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini
ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari
segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda
orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2
tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan
pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun
pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam
memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi
pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan
masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
Secara
umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak
usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1.
membiarkan, 2. tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling),
4. mengalihkan arah (redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7.
menantang (challanging).
D. Pengembangan
Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut
Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang
diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam
tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya
perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi
kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan
apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan
bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman
anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk.,
2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1.
Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat
ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada
masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap
materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2.
Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat
ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap
materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk
mempelajari lebih jauh.
3.
Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat
individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang
individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang
konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b.
konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal,
dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam
diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pengembangan
nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan
anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas,
maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan
melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan
demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang
terdapat dalam cerita yang diterimanya.
Daftar
rujukan :
1. Lilis
Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak
Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
2. Masitoh
dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005.
3. Siti
Aisyah dkk. (2007) Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia
Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
4. Slamet
Suyanto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an Ketenagaan Perguruan Tinggi.
5. Wantah,
Maria J. (2005) Pengembangan Disiplin dan Pembentukan Moral pada Anak Usia
Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an
Ketenagaan Perguruan
14 komentar:
tolong bantu saya dong
Pusing
Bagus
bagus serta berbobot
Bagus 👍
Bagus sekali
Sangat bermanfaat sekali
Bagus sekali
Mkc
Alhamdulillah sangat bermmanfaat
alhamdulillah sangat bermamfaat
bagusss
Alhamdulilah sangat bermanfaat sekali
Sangat menarik dan bermanfaat
Posting Komentar