Sabtu, 05 Desember 2015

PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI



PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI



Pengertian Moral dan Perkembangan Moral

Moral adalah tingkah laku yang telah diatur atau ditentukan oleh etika. Moral sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu moral baik dan moral jahat. Moral baik ialah segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik, begitu juga sebaliknya dengan moral yang jahat.
Berikut beberapa pengertian moral :
1.      Moral adalah nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial dan mengatur tingkah laku seseorang.
2.      Moral ialah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat.
3.      Moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran - ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.

A.    Perkembangan moral
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktifitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik. (Santrock, 2007 ;Gibbs,2003 ; Power,2004 ; Walker &Pitts,1998)[6] Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-atuaran dan ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain
Pada usia Taman Kanak-kanak, anak telah memiliki pola moral yang harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif. Menurut John Dewey tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati 3 fase, yaitu premoral, conventional dan autonomous. Anak Taman Kanak-kanak secara teori berada pada fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu, guru diharapkan memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut.
Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam perkembangan moralnya melalui tahapan heteronomous dan autonomous. Seorang guru Taman Kanak-kanak harus memperhatikan tahapan hetero-nomous karena pada tahapan ini anak masih sangat labil, mudah terbawa arus, dan mudah terpengaruh. Mereka sangat membutuhkan bimbingan, proses latihan, serta pembiasaan yang terus-menerus.
Manusia merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto,  2005: 67). Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.
Perkembangan Moral Jean Piaget
Jean Piaget lahir di Neuchâtel, Swiss, 9 Agustus1896 adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembanganSwiss, yang terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya. Menurut Ernst von Glasersfeld, Jean Piaget adalah juga “perintis besar dalam teori konstruktivis tentang pengetahuan[7]. Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja. Piaget melakukan observasi dan wawancara dengan anak-anak usia 4-12 tahun, yaitu :
1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, antara lain:
Heteronomous Morality
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
1. Misalnya, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
2. Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
3. Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
4. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
5. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.

Autonomous Morality
1. Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya
2. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
3. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
4. Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerjasama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orangtua dan anak, orangtua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.
2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerkembanganMoral
Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilai-nilai luhur dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta lingkungan sosial budaya, mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan sekerja/kegiatan ditengah lingkungan.

a. Perubahan dalam lingkungan

Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.

b. Struktur kepribadian

Psiko analisa (freud) menggambarkan perkembangan kepribadian termasuk moral. dimulai dengan sistem ID, selalu aspek biologis yang irasional dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem nilai dan moralmasyarakat. Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990).

1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan.

2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan.

3. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
Sumber :
B.   Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Menurut Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan yang berkarakter pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi pribadi-pribadi yang bermoral atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab keluarga, sekolah, dan seluruh komponen masyarakat. Usaha tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus, dan komprehensif.  Pengembangan moral anak usia dini melalui pengembangan pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah
a. Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari dalam keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling efektif untuk melatih berbagai kebiasaan yang baik pada anak.
Menurut Thomas Lickona, sebagimana pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007: 8.38 – 8.41), ada 10 hal penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip dalam mengembangkan karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.
1)    Moralitas penghormatan
Hormat merupakan kuci utama untuk dapar hidup harmonis dengan masyarkat. Moralitas penghormatan mencakup
a)    Penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri.
b)    Penghormatan kepada sesame manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan ekonomi, dst.
c)    Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan.
2)     Perkembangan moralitas kehormatan berjalan secara bertahap
Anak-anak tidak bisa langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan waktu dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk melakukan pendidikan tersebut.
3)     Mengajarkan prinsip menghormati
Anak-anak akan belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya. Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dst.
4)    Mengajarkan dengan contoh
Pembentukan perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh.  Oleh karena itu contoh nyata dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan. Selain itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara-acara televisi yang sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya.
5)     Mengajarkan dengan kata-kata
Selain mengajar dengan contoh, orang tua hendaknya menjelaskan dengan kata-kata apa yang ia contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai tindakan yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya.
6)     Mendorong anak unruk merefleksikan tindakannya
Ketika anak telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya sehingga adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang merebut mainannya, apa reaksinya.
7)     Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab
Anak-anak harus dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang altruistik, yaitu peduli pada sesamana. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung jawab.
8)     Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol
Keseimbangan antara kebebasan dan kontrol diperlukan pengembangan moral anak.  Anak diberi pilihan untuk menentukn apa yang akan dilakukannya namun aturan-aturan yang berlaku harus ditaati.
9)     Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral
Perhatian dan cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain.
10)     Menciptakan keluarga bahagia
Pendidikan moral kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak menjadi pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika jika anak mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan keluarga yang bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua sehubungan dengan erkembangan moral anaknya.
b.  Pengembangan kebiasaan berperilaku yang baik di sekolah
Perkembangan moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997) dan Megawangi 2004) dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.41 – 8.42), bahwa lingkungan sekolah berperan dalam pengembangan moral anak usia dini. Pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan pad ataman kanak-kanak. Menurut Schweinhart (Siti Aisyah dkk., 2007: 8.42), pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan pengaruh positif pada pada perkembangan anak selanjutnya.
Di lembaga pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan moral anak sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah, 2007: 8.45), pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1)  Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang, adil, dan hormat.
2)  Memberikan perhatian khusus secara individual agar pendidik dapat mengenal secara baik anak didiknya.
3)  Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan.
4)   Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik.
C.   Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1.    Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
2.    Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3.    Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
Secara umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2. tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).
D.   Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap.  Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1.  Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2.  Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.


3.  Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.  


Daftar rujukan :
1.      Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
2.      Masitoh dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005.
3.      Siti Aisyah dkk. (2007) Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
4.      Slamet Suyanto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an Ketenagaan Perguruan Tinggi.
5.      Wantah, Maria J. (2005) Pengembangan Disiplin dan Pembentukan Moral pada Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an Ketenagaan Perguruan

12 komentar: